WISH FEMI HERBS

WISH FEMI HERBS

Wednesday, March 28, 2012

Miskomunikasi. Kisah Nyata

Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia adalah satu-satunya harapan nenek, nenek pula yang membesarkan dan menyekolahkannya hingga tamat kuliah. Suami saya mengutarakan idenya untuk menjemput nenek di kampung agar bisa tinggal bersama kami. Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera menyiapkan sebuah kamar yang menghadap taman untuk nenek, agar beliau dapat berjemur, menanam bunga dan sebagainya. Suami saya berdiri sesaat di depan kamar yang sangat kaya dengan sinar matahari itu, tidak sepatah katapun yang terucap. Lalu tiba-tiba saja dia memeluk, mengangkat dan memutar-mutar saya seperti adegan dalam film India sambil berkata: "Mari, kita jemput nenek di kampung".

Suami saya berbadan tinggi besar, saya suka sekali menyandarkan kepala di dadanya yg bidang. Ada suatu perasaan nyaman dan aman disana. Saya merasa seperti sebuah boneka kecil yang kapan saja bisa diangkat dan dimasukkan ke dalam kantongnya. Kalau terjadi selisih paham diantara kami, dia suka tiba-tiba mengangkat saya tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru diturunkan. Saya sungguh menikmati saat-saat seperti itu.


Nenek kini tinggal bersama kami. Saya suka sekali menghias rumah dengan bunga segar, sampai akhirnya nenek tidak tahan lagi dan berkata kepada suami: "Istri kamu hidup foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan?" Saya menjelaskan kepada nenek: "Ibu, rumah dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira." Nenek berlalu sambil menggerutu. Suami saya berkata sambil tertawa: "Ibu, ini kebiasaan orang kota, lambat laun ibu akan terbiasa juga."

Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihat saya pulang sambil membawa bunga, nenek tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu. Setiap mendengar jawabanku, nenek selalu mencibir sambil menggelengkan kepala. Setiap membawa pulang barang belanjaan, nenek selalu bertanya: itu berapa harganya ,ini berapa harganya. Setiap saya jawab, nenek selalu menggerutu dengan suara keras. Suami saya memencet hidungku sambil berkata: "Putriku, kan kamu bisa berbohong. Jangan katakan harga yang sebenarnya."

Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suami saya bangun pagi menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya sendiri. Di mata nenek seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan. Di meja makan, wajah nenek selalu cemberut dan saya sengaja berpura-pura tidak tahu. Nenek selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sumpit dan sendok, itulah caranya protes.

Saya adalah seorang instrukstur tari. Seharian menari terus-menerus membuat badan sangat letih. Saya tidak ingin membuang waktu istirahat dengan bangun pagi apalagi di saat musim dingin. Nenek kadang juga suka membantuku di dapur, tetapi makin dibantu malah membuat saya menjadi semakin repot. Misalnya: nenek selalu menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan. Dikumpulkan bisa untuk dijual katanya. Jadilah rumah ini seperti tempat pemulungan kantong plastik. Dimana-mana terlihat kantong plastik besar tempat mengisi semua kumpulan kantong plastik lainnya.

Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak menggunakan cairan pencuci. Agar nenek tidak tersinggung, saya selalu mencucinya sekali lagi pada saat nenek sudah tidur. Suatu hari, nenek mendapati saya sedang mencuci piring di malam hari. Nenek segera masukke kamar sambil membanting pintu dan menangis. Suami saya jadi merasa serba salah. Malam itu kami tidur seperti orang bisu, saya mencoba bermanja-manja dengannya, tetapi dia tidak peduli. Saya menjadi kecewa dan marah. Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tangga kami mulai terusik. "Apa salahku?" Dia melotot sambil berkata: "Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah memakan dengan pring itu bisa membuatmu mati?"

Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yang cukup lama, suasana mejadi kaku. Suami saya pun menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak kepada siapa? Nenek tidak lagi membiarkan suami saya masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya. Wajahnya terlihat sangat bahagia setiap melihat suami saya makan dengan lahap. Dengan sinar mata yang seakan mencemoh sewaktu melihat ke arah saya, seakan berkata dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri? Untuk menghindari suasana pagi hari di meja makan, saya selalu membeli makanan di luar pada saat berangkat kerja. Saat tidur, suami berkata: "Lu di, apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah?" Sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata yg mengalir di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata: "Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi." Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yang serba canggung itu.

Pagi itu nenek memasak bubur. Kami sedang makan dan tiba-tiba saya merasa amat mual, seakan-akan isi perut mau keluar semua. Saya menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai disana aku segera memuntahkan semua isi perut. Setelah agak reda, saya melihat suami saya berdiri di depan pintu kamar mandi dan memandang dengan sinar mata yg tajam, di luar sana terdengar suara tangisan nenek dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Saya terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata. Sungguh bukan aku sengaja seperti itu!. Pertama kalinya dalam perkawinan, saya bertengkar hebat dengan suami. Nenek melihat kami dengan mata merah dan berjalan menjauh. Suami saya segera mengejarnya keluar rumah.


Selama tiga hari suami saya tidak pulang ke rumah dan tidak juga menelepon. Saya sangat kecewa. Semenjak kedatangan nenek di rumah ini, saya sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi? Entah kenapa saya selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan, ditambah lagi dengan keadaan rumah yang kacau, sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya seorang teman sekerja berkata: "Lu Di, sebaiknya kamu periksa ke dokter." Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil. Saya baru sadar mengapa saya mual-mual pagi itu. Sebuah berita gembira, namun terselip juga kesedihan. Mengapa suami dan nenek sebagai orang yg berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?

Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suami saya. Tiga hari tidak bertemu, dia berubah drastis. Muka kusut kurang tidur, aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuat saya menyapalnya. Dia melihat ke arah saya, tetapi seakan akan tidak mengenali saya lagi. Pandangan matanya penuh dengan kebencian dan itu melukai saya. Saya berkata pada diri sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera memanggil taksi. Padahal saya sangat ingin memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak. Dan berharap saya akan diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar, tetapi..... mimpi itu tidak menjadi kenyataan. Di dalam taksi, air mata mengalir dengan deras. Mengapa kesalahpahaman ini berakibat sangat buruk?

Sampai di rumah saya berbaring di ranjang memikirkan peristiwa tadi. Memikirkan sorot matanya yang penuh dengan kebencian. Saya menangis dengan sedihnya. Tengah malam, saya mendengar suara orang membuka laci, aku menyalakan lampu dan melihat dia dengan wajah berlinang air mata sedang mengambil uang dan buku tabungannya. Saya nenatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata. Dia seperti tidak melihat saja dan segera berlalu. Sepertinya dia sudah memutuskan untuk meninggalkan aku. Sungguh lelaki yang sangat picik, pada saat begini dia masih bisa membedakan antara cinta dengan uang. Aku tersenyum sambil menitikkan air mata.

Saya tidak masuk kerja keesokan harinya. Saya ingin secepatnya membereskan masalah ini. Saya akan pergi mencarinya ke kantornya untuk membicarakan semua masalah ini. Di kantornya saya bertemu dengan sekretarisnya yang melihat dengan wajah bingung. "Ibunya pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah sakit. Mulut saya menganga lebar. Saya segera menuju rumah sakit dan saat menemukannya, nenek sudah meninggal. Suami saya tidak menatap saya. Wajahnya kaku. Saya memandang jasad nenek yang terbujur kaku. Sambil menangis, saya menjerit di dalam hati: "Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?" Sampai selesai upacara pemakaman, suami saya tidak pernah bertegur sapa dengan saya. Jika memandang saya, selalu dengan pandangan penuh dengan kebencian.

Tentang peristiwa kecelakaan itu juga saya ketahui dari orang lain. Pagi itu nenek berjalan ke arah terminal, rupanya nenek mau kembali ke kampung. Suami saya mengejarnya sambil berlari, nenek juga berlari makin cepat sampai tidak melihat sebuah bus yang datang ke arahnya dengan kencang. Saya baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan kebencian. Jika saya tidak muntah pagi itu, jika kami tidak bertengkar, jika.... Di matanya, sayalah penyebab kematian nenek.

Suami saya pindah ke kamar nenek. Setiap malam pulang kerja dengan badan penuh dengan bau asap rokok dan alkohol. Saya merasa bersalah tetapi juga merasa harga diri ini terinjak-injak. Saya ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan salah saya, dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera mempunyai anak. Tetapi melihat sorot matanya, saya lalu mengurungkan untuk menjelaskan masalah ini. Saya rela dipukul atau dimaki-maki olehnya walaupun ini bukan salah saya. Waktu berlalu dengan sangat lambat. Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain. Dia pulang makin larut malam. Suasana kaku di dalam rumah.

Suatu hari, saya berjalan melewati sebuah kafe. Melalui keremangan lampu dan kisi-kisi jendela, saya melihat suami saya dengan seorang perempuan di dalam. Dia sedang menyibak rambut perempuan itu dengan mesra. Saya tertegun dan mengerti apa yang telah terjadi. Saya masuk ke dalam dan berdiri di depan mereka sambil menatap tajam ke arahnya. Saya tidak menangis, juga tidak berkata apapun karena saya juga tidak tahu harus berkata apa. Perempuan itu melihat saya, lalu ke arah suami saya, dan segera hendak pergi. Tetapi dicegah oleh suami saya, yang menatap balik ke arah saya, dengan sinar mata yang tidak kalah tajam. Suara detak jangtung saya terasa sangat keras.

Akhirnya saya mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika tidak... mungkin saya akan jatuh bersama bayi ini di hadapan mereka. Malam itu dia tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan kepada saya apa yang telah terjadi. Sepeninggal nenek, rajutan cinta kasih kami juga sepertinya sudah berakhir. Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu pulang ke rumah, saya mendapati lemari seperti bekas dibongkar. Saya tahu dia kembali mengambil barang-barang keperluannya. Saya tidak ingin meneleponnya walaupun kadang terlintas suatu keinginan untuk menjelaskan semua ini. Tetapi itu tidak terjadi... Semua berlalu begitu saja.

Saya mulai hidup seorang diri. Pergi memeriksa kandungan seorang diri. Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang cek kandungan bersama, hati ini serasa hancur. Teman-teman menyarankan agar saya menggugurkan bayi ini saja, tetapi saya seperti orang yang histeris mempertahankan miliknya. Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek bahwa saya tidak bersalah.

"Suatu hari pulang kerja, saya melihatnya duduk di depan ruang tamu. Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas diatas meja. Tidak perlu ditanya, saya juga tahu surat apa itu. Dua bulan hidup sendiri, saya sudah bisa mengontrol emosi. Sambil membuka mantel dan topi saya berkata kepadanya: "Tunggu sebentar, saya akan segera menanda tanganinya". Dia melihat dengan pandangan awut-awutan, demikian juga saya. Saya berkata pada diri sendiri, jangan menangis, jangan menangis. Mata ini terasa sakit sekali tetapi saya terus menahan agar air mata ini tidak keluar.

Selesai membuka mantel, saya berjalan ke arahnya dan ternyata dia memperhatikan perutku yg agak membuncit. Sambil duduk di kursi, saya menanda tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya. "Lu Di, kamu hamil?" Semenjak nenek meninggal, itulah pertama kali dia berbicara kepadaku. Saya tidak bisa lagi membendung air mata yg menglir keluar dengan derasnya. Saya menjawab: "Iya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah boleh pergi." Dia tidak pergi, dalam keremangan ruangan kami saling berpandangan. Perlahan-lahan dia membungkukan badannya ke tangan saya, air matanya terasa menembus lengan baju. Tetapi di lubuk hati ini, semua sudah berlalu, banyak hal yang sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali. Entah sudah berapa kali saya mendengarnya mengucapkan kata: "Maafkan aku, maafkan aku". Saya pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi tidak bisa. Tatapan matanya di kafe itu tidak akan pernah bisa saya lupakan. Sudah ada sebuah luka yg menganga di dalam cinta di antara kami. Semua ini karena kesengajaan darinya.

Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Hanya sewaktu memikirkan bayi ini saya bisa bertahan untuk terus hidup. Terhadapnya, hati saya sudah dingin bagaikan es. Saya tidak pernah menyentuh semua makanan yang dibelinya, tidak menerima semua hadiah pemberiannya tidak juga berbicara lagi dengannya. Sejak menanda tangani surat itu, semua cinta padanya sudah berlalu, harapan telah lenyap tidak berbekas.

Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersama. Saya segera pergi ke ruang tamu. Dia terpaksa kembali ke kamar nenek. Malam hari, terdengar suara orang mengerang dari kamar nenek tetapi saya tidak peduli. Itu adalah permainannya dari dulu. Jika saya tidak peduli padanya, dia akan berpura-pura sakit sampai saya menghampirinya dan bertanya apa yang sakit. Dia lalu akan memeluk saya

Begitu seterusnya, setiap malam saya mendengar suara orang mengerang. Hampir setiap hari dia selalu membeli barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku bacaan untuk anak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak dengan barang-barang. Saya tahu, dia mencoba menarik simpati, tetapi saya tidak bergeming. Terpaksa dia mengurung diri di dalam kamar. Malam hari, dari kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer. Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya. Bagi saya itu bukan lagi suatu masalah.

Suatu malam di musim semi, perut saya tiba-tiba terasa sangat sakit, dan saya berteriak dengan suara yang keras. Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur. Saat inilah yg ditunggu-tunggu olehnya. Saya digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan erat tangan saya, menghapus keringat dingin yang mengalir di dahi saya. Sampai di rumah sakit, saya segera digendongnya menuju ruang bersalin. Di punggungnya yg kurus kering, Saya terbaring dengan hangat dalam dekapannya. Sepanjang hidup saya, siapa lagi yang mencintai saya sedemikian rupa jika bukan dia?

Sampai di pintu ruang bersalin, dia memandang dengan tatapan penuh kasih sayang saat saya didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit saya masih sempat tersenyum padanya. Keluar dari ruang bersalin, dia memandang saya dan anak kami dengan wajah penuh dengan air mata sambil tersenyum bahagia. Saya memegang tangannya, dia membalas memandang dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke lantai. Saya berteriak histeris memanggil namanya.

Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya. Saya pernah berpikir untuk tidak akan lagi mengeluarkan setetes pun air mata untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian, saya tidak pernah merasakan sesakit saat ini. Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah mukjijat. Saya bertanya kapan kanker itu terdeteksi? Lima bulan yang lalu, kata dokter. Bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk. Saya tidak lagi peduli dengan nasehat perawat, saya segera pulang ke rumah dan ke kamar nenek lalu menyalakan komputer.

Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar apa adanya. Saya masih berpikir dia sedang bersandiwara. Sebuah surat yang sangat panjang ada di dalam komputer yang ditujukan kepada anak kami. "Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah harapanku. Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan. Sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu. Tetapi ayah tidak punya kesempatan untuk itu. Didalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup yang akan kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah. Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama bertahun -tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang yang paling mencintaimu dan adalah orang yang paling ayah cintai."

Mulai dari kejadian yang mungkin akan terjadi sejak TK, SD, SMP, SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap di dalamnya. Dia juga menulis sebuah surat untukku. "Sayangku, dapat menikahimu adalah hal yang paling bahagia yang aku rasakan dalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya. Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau telah memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini. Hadiah-hadiah ini aku tidak punya kesempatan untuk memberikannya pada anak kita. Pada bungkusan hadiah, tertulis semua tahun untuk waktu pemberian kepadanya"."

Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku menggendong anak kami dan membaringkannya di atas dadanya sambil berkata: "Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya". Dengan susah payah dia membuka matanya, tersenyum... Anak itu tetap di dalam dekapannya, dengan tangannya yang mungil memegangi tangan ayahnya yang kurus dan lemah. Tidak tahu sudah berapa kali aku sudah menjepret momen itu dengan kamera di tangan sambil berurai air mata.

Ini adalah cerita sebenarnya. Diceritakan oleh Lu Di dan diedit oleh Lian Shu Xiang

ooo00000ooo

Jika ada sesuatu yg mengganjal di hati, di antara kalian, yang saling mengasihi, sebaiknya utarakanlah. Jangan simpan di dalam hati. Siapa tahu apa yang akan terjadi besok? Ada sebuah pertanyaan: Jika kita tahu besok adalah hari kiamat, apakah kita akan menyesali semua hal yang telah kita perbuat? Atau apa yang telah kita ucapkan? Sebelum segalanya menjadi terlambat, pikirkanlah matang-matang semua yang akan kita lakukan sebelum kita menyesalinya seumur hidup.


Tuesday, March 27, 2012

Nelayan Vs. Pengusaha

Seorang nelayan sedang bersantai di tepi pantai. Seorang pengusaha yang kebetulan lewat melihat nelayan itu dan mengajaknya berbincang-bincang. "Sedang apa nih Pak?" tanya si pengusaha.

"Saya sudah menangkap cukup banyak ikan untuk kebutuhan hidup keluarga saya, jadi tentu saja sekarang saya sedang bersantai saja menikmati keidahan ciptaan Tuhan.," jawabnya.

"Tapi Pak," si pengusaha menanggapi jawaban nelayan, "kalau Bapak tetap melaut dan bekerja lagi seharian, Bapak bisa dapat lebih banyak uang dan membeli kapal lagi kan? Kalau Bapak menanam uang, suatu hari Bapak bisa jadi orang kaya juga," si pengusaha menyarankan.

"Begitu ya... Lalu kenapa Saya harus seperti itu?" Tanya si nelayan.

"Yah... tidakkah Bapak sadar? Bapak akhirnya nanti bisa pensiun dan berlibur di pantai, menikmati ciptaan Tuhan deh," ujar si pengusaha bersemangat.

"Tapi... bukannya itu yang sekarang sedang saya lakukan?" Jawabnya.


>>> Langganan cerita-cerita di "Moral Compass"
>>> Cerita-cerita bagus lainnya
>>> Info gadget-gadget keren
>>> Gambar animasi lucu untuk Display Pic di BBM kamu

Sunday, March 25, 2012

Harga sebuah Mukjizat


Sally baru berusia 8 tahun. Papa dan mama sedang berbicara serius tentang adik kecilnya, Georgi, yang sedang sakit parah, dan sepertinya tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan hidupnya. Hanya sebuah operasi yang mungkin bisa menolongnya, tetapi tentu saja biayanya amat mahal dan di luar kemampuan mereka. Sally mendengar papanya mengeluh dengan putus asa, "Kini hanya mukjizat yang bisa menolongnya."

Sally masuk ke kamarnya dan mengambil celengannya. Ia mengeluarkan semua isinya dan menghitungnya dengan teliti. Tiga kali hitung. Jumlahnya sudah benar, tidak mungkin salah. Ia membungkus uangnya dengan saputangan, lalu diam-diam ia pergi dari rumahnya menuju ke apotek di ujung jalan.


Sally menunggu dengan sabar sampai apoteker di sana melayaninya.... tetapi tampaknya ia masih terus sibuk berbicara dengan seorang pelanggan. Sally beberapa kali mencoba menarik perhatiannya, namun tidak berhasil. Akhirnya ia mengetuk-ngetuk kaca etalase. "Ada perlu apa?" tanya apoteker dengan nada sedikit kesal. "Saya sedang berbicara dengan kakak saya."

"Aku juga ingin bicara tentang adikku," Sally menjawabnya dengan nada kesal yang sama. "Dia sedang sakit... dan aku ingin membeli mukjizat."

"Maaf?" apoteker itu sedikit bingung.

"Kata papa, sekarang hanya mukjizat yang bisa menolongnya... jadi mukjizat itu berapa harganya?"

"Kami tidak menjual mukjizat di sini Nak. Aku tak bisa membantumu."

"Hei, aku punya uang lho. Berapa sih harganya?"

Seseorang yang sejak tadi memperhatikan kejadian itu mendekati Sally, ia membungkuk dan bertanya, "Mukjizat seperti apa yang diperlukan adikmu, Nak?"

"Aku tak tahu," Sally menjawabnya, ia sudah hampir mulai menangis. "Aku hanya tahu kalau adikku sedang sakit parah dan kata mama harus dioperasi. Papa mama tidak punya uang... tapi aku punya."

"Kamu punya uang berapa?" tanya orang itu.

"Satu dolar sebelas sen," Sally menjawab dengan bangga. "Dan ini semua uang yang kupunya."

"Wah, kebetulan sekali," orang itu tersenyum. "Satu dolar dan sebelas sen... pas sekali dengan harga mukjizat untuk menolong adikmu." Ia mengambil uang itu dari tangan Sally, tangan yang satunya lagi menggenggam tangan Sally dan berkata "Ayo ajak paman ke rumahmu. Paman ingin bertemu dengan adikmu dan papa mamamu."

Orang itu adalah dr. Carlton Armstrong, ahli bedah ternama, spesialis penyakit yang diderita Georgi. Operasi itu berjalan lancar, bebas biaya apa, dan tak lama kemudian Georgi sudah boleh pulang ke rumah dan sehat.

Papa mama sangat bersemangat menceritakan tentang hal ini. "Operasi itu," kata mama, "adalah sebuah mukjizat. Sebenarnya kira-kira berapa ya biayanya?"

Sally tersenyum sendiri. Ia tahu persis berapa harga mukjizat itu. Satu dolar dan sebelas sen, ditambah keyakinan dari seorang bocah kecil.

>>> Langganan cerita-cerita di "Moral Compass"
>>> Cerita-cerita bagus lainnya
>>> Info gadget-gadget keren
>>> Gambar animasi lucu untuk Display Pic di BBM kamu

Thursday, March 22, 2012

Jodoh

Dalam perjalanan pulang, aku menemukan sebuah dompet di jalan. Di dalamnya hanya berisi uang tiga dolar dan sebuah amplop surat yang sudah usang. Tertulis sebuah alamat di surat itu. Aku membuka amplopnya, siapa tahu ada informasi tentang pemiliknya.

Aku membaca surat itu. Tertanggal tahun 1924, ternyata surat yang sudah sangat tua. Tulisannya indah, sepertinya tulisan tangan seorang perempuan. Ditujukan kepada seseorang bernama "John", dan menceritakan bahwa si penulis surat tidak dapat menemui John lagi karena orang tuanya melarangnya. Namun demikian, tertulis di sana bahwa ia akan selalu mencintai John-nya.

Tertanda, Jane.

Surat yang indah, tapi akan sulit mencari tahu siapa pemiliknya hanya berbekal sedikit informasi seperti ini. Aku pikir mungkin bisa dimulai dengan menanyakan nomer telefon untuk alamat yang tercantum di amplopnya.

"Halo, operator," aku menelefon layanan informasi, "ini agak tidak biasa. Saya sedang mencari pemilik sebuah dompet yang saya temukan di jalan. Di dalam dompet itu saya menemukan sebuah surat dengan alamat yang tercantum pada amplopnya, apakah ada nomer telefon yang terdaftar untuk alamat itu.


Dia menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang kedengarannya sedikit ragu sesaat, lalumenjawab, "Ya, memang ada nomer telefon untuk alamat itu, tetapi kami tidak bisa memberikannya kepada Bapak." Lalu ia melanjutkan, sebagai gantinya, dia yang menghubungi nomer itu sekarang, menjelaskan sesuai ceritaku tadi, dan meminta mereka untuk menghubungiku.


Aku menunggu beberapa saat, lalu ia kembali, katanya, "Ada yang ingin berbicara dengan Bapak."

Suara di ujung sana seorang perempuan, aku segera bertanya apakah ia mengenal seseorang bernama Jane. Ia terkejut, "Oh! Kami membeli rumah ini dari sebuah keluarga yang putrinya bernama Jane. Tapi itu sudah 30 tahun yang lalu!"

"Apakah Ibu tahu keberadaan keluarga itu sekarang?" Aku bertanya.

"Aku ingat Jane sempat menitipkan ibunya di rumah jompo beberapa tahun lalu," katanya. "Kalau Bapak bisa menghubungi mereka, mungkin mereka dapat membantu Bapak mencari di mana keberadaan Jane sekarang."
Ia memberitahukan nama rumah jompo itu, dan aku segera menghubunginya. Kata mereka, wanita tua itu sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Tapi mereka punya nomer telefon tempat yang mereka pikir putri wanita itu tinggal sekarang.

Aku berterimakasih kepadanya, dan melanjutkan menelefon nomer yang barusan kucatat. Perempuan yang menjawab telefon menjelaskan bahwa Jane sendiri sekarang tinggal di rumah jompo.
Aku mulai berpikir rasanya semua ini begitu konyol. Buat apa juga dari tadi aku disibukkan oleh dompet yang hanya berisi uang tiga dolar dan surat yang sudah hampir berusia 60 tahun?


Tapi aku tetap menelefon lagi. Kali ini ke rumah jompo tempat di mana Jane seharusnya tinggal. Lalu orang yang menjawab telefon memberitahukan kepadaku, "Ya, Jane tinggal bersama kami."

Meskipun sudah pukul sepuluh malam, aku tetap minta diperbolehkan untuk mampir dan bertemu dengan perempuan bernama Jane ini. "Emmm...," dengan ragu, "kalau Bapak mau mencoba, ia tinggal di Blok 3, mungkin masih di ruang utama menonton televisi."

Aku berterimakasih kepadanya, lalu segera berangkat menuju rumah jompo itu. Petugas di sana menyambutku, lalu kami berjalan ke Blok 3. Di ruang utama, ia memperkenalkan aku kepada Jane.

Rambutnya sudah putih semua, ia seorang nenek yang manis, yang tersenyum dengan hangat dan matanya masih penuh semangat. Aku menceritakan pengalamanku menemukan dompet, dan menunjukkan surat itu kepadanya. Begitu ia melihat amplop biru muda dengan gambar bunga kecil di sisi kirinya, ia menarik nafas panjang dan berkata, "Nak, surat ini adalah terakhir kali aku berhubungan dengan John."

Pandangannya menerawang beberapa saat, lalu melanjutkan, "Aku amat mencintainya. Tetapi saat itu aku baru berumur enam belas,  dan ibuku menganggapku masih terlalu kecil. Oh, ia begitu tampan, mirip Sean Connery, sang bintang film."

"Ya," ia melanjutkan. "John Doe lelaki yang luar biasa. Kalau Kamu bertemu dengannya, tolong katakan kepadanya aku masih sering memikirkannya. "Dan," ia ragu sebentar, hampir menggigit bibirnya, "katakan kepadanya aku masih mencintainya.... Tahukah Nak," katanya sambil tersenyum dan air matanya mulai berkumpul membasahi matanya. "aku tidak pernah menikah. Menurutku tak ada satu pun yang sebanding dengan John..."

Aku berterimakasih kepada Jane dan pamit. Sambil berjalan ke luar, petugas di sana bertanya, "Bagaimana, apakah ada hasilnya?"

"Setidaknya aku mendapatkan nama belakangnya. Tapi rasanya saya akan membiarkannya dulu saja. Saya sudah menghabiskan waktu seharian untuk mencari pemilik dompet ini." Jawabku sambil mengeuarkan dompet itu dari saku.


Penjaga itu melihat sesaat dompet kulit dengan sedikit aksen merah di bagian pinggir di tanganku, kemudian ia berseru, "Hei, tunggu, itu dompet Mr. Doe! Saya tahu pasti, aksen merah itu. Ia selalu kehilangan dompetnya, saya sendiri sudah tiga kali menemukan dompet itu di sini."

"Siapa itu Mr. Doe?" Aku bertanya dengan bersemangat.

"Dia penghuni di sini, di Blok 8. Itu pasti dompet Mr. John Doe. Ia pasti menjatuhkannya lagi waktu bepergian." Aku berterimakasih kepadanya lalu segera berlari kembali ke kantor perawat. Aku menceritakan kepadanya apa yang di katakan petugas di luar tadi. Lalu kami sudah berjalan kembali menuju Blok 8, sambil berharap Mr. John Doe benar sedang berada di sana.

Sesampainya di Blok 8, perawat di sana berkata, "Kurasa ia masih berada di ruang utama. Beliau senang membaca di malam hari. Ia orang tua yang menyenangkan."

Kami berjalan menuju satu-satunya ruangan yang masih terang, ada seseorang sedang membaca buku. Perawat menghampirinya dan menanyakan apakah ia kehilangan dompetnya. Mr. Doe tampak terkejut, meraba sakunya, dan berkata, "Oh, dompet saya hilang!"


"Bapak yang baik hati ini menemukan sebuah dompet dan kami pikir mungkin dompet ini milik Bapak."


Aku menyerahkan dompet itu ke tangan Mr. Doe dan segera saja ia tersenyum lega dan berkata, "Ya, benar ini! Pasti terjatuh tadi siang. Saya ingin memberikan sedikit tanda terima kasih."


"Tidak perlu Pak..., terima kasih..." jawabku sopan. "Tetapi saya harus memberitahu sesuatu. Saya membaca surat di dalamnya untuk mencari petunjuk siapa pemilik dompet itu.


Senyum di wajahnya mendadak hilang. "Kau membaca surat itu?"

"Bukan itu saja, bahkan mungkin saya tahu di mana Jane berada."
Wajahnya segera pucat. "Jane? Kau tahu di mana dia? Bagaimana keadaannya? Apakah ia tetap cantik seperti dulu? Tolong, tolong beritahu saya," ia memohon.

Ia baik-baik saja... tetap cantik sebagaimana Bapak mengenalnya dulu." Aku menjawab dengan lembut.

Orang tua itu tersenyum dan segera bertanya, "Bisakah Kau beritahu di mana dia? Saya ingin menelefonnya besok." Ia mencengkeram lenganku dan melanjutkan, "Tahukah Nak, saya begitu jatuh cinta kepadanya, sampai waktu saya menerima surat itu, hidup ini bisa dikatakan sudah berakhir. Saya tidak pernah menikah, dan saya rasa saya selalu hanya mencintainya.

"Mr. Doe," kataku, "ayo ikut saya."

Kami berjalan menuju Blok 3. Ruangan-ruangan di sana sudah gelap, hanya beberapa lampu kecil yang menerangi koridor menuju ruang utama tempat Jane tadi menonton televisi sendirian.

Perawat mendekatinya. "Jane," katanya dengan lembut, sambil menunjuk ke arah John, yang sedang menunggu denganku di dekat pintu ruangan. "Kau kenal orang ini?"

Ia mengatur posisi kacamatanya sebentar, melihat sesaat, tapi tidak berkata apa pun. John berkata dengan lembut, hampir berbisik, "Jane, ini John. Kau ingat aku?"

"Ia terperanjat, "John! Yang benar, John? Kau kah itu, John ku!" John berjalan perlahan ke arahnya, dan mereka berpelukan. Aku dan si perawat meninggalkan mereka berdua, dengan air mata di wajah kami.

Kira-kira tiga minggu kemudian aku mendapat telefon di kantorku dari rumah jompo. "Bisakah Kau meluangkan waktu di hari minggu untuk menghadiri acara pernikahan? John dan Jane akan menikah!"

Acara pernikahan itu sangat indah, dengan semua orang yang berada di rumah jompo berpakaian pesta. Jane cantik dengan gaun pengantinnya, John gagah dengan tuxedo-nya. Mereka menjadikan aku sebagai pendamping pengantin pria.

Rumah jompo itu memberikan kamar tersendiri bagi mereka berdua. Kalau kamu ingin menyaksikan seorang pengantin wanita berusia 76 tahun bersama pengantin prianya yang berusia 79 tahun, bertingkah layaknya sepasang remaja kasmaran, maka lihatlah pasangan yang satu ini.

"Lihat kan," kataku. "Lihat kan Tuhan Yang Maha Kasih bekerja! Kalau memang berjodoh, maka pastilah terjadi."


>>> Langganan cerita-cerita di "Moral Compass"
>>> Cerita-cerita bagus lainnya

Bagus lah

Seorang raja di Afrika mempunyai seorang teman, teman sepermainannya sejak masih kanak-kanak. Temannya itu memiliki kebiasaan unik dalam memandang setiap situasi dalam hidupnya, dan selalu akan berkata, "Bagus lah!"

Suatu hari, mereka pergi berburu. Temannya menyiapkan senjata untuk sang raja. Kali ini sepertinya ia melakukan sedikit kesalahan dalam mempersiapkan senapan itu, karena ketika raja menembakkan senapannya, jari jempol sang raja justru cedera parah karena ledakan. Raja kehilangan jempolnya. Seperti biasa, setelah mengamati kejadian itu, temannya hanya mengatakan, "Bagus lah!". Raja marah, "Apanya yang bagus!" lalu raja memenjarakan temannya itu.

Setelah satu tahun kemudian, raja sedang berburu sendirian. Raja seharusnya sudah tahu bahwa seharusnya ia menjauhi daerah itu. Suku kanibal menangkapnya dan mengaraknya ke desa mereka. Mereka mengikat sang raja, menyiapkan kayu bakar, dan bersiap untuk memanggang dirinya.

Begitu persisapan selesai, mereka menyadari bahwa calon santapan mereka kali ini tidak memiliki satu jari jempolnya. Berdasarkan kepercayaan primitif mereka, pantang bagi mereka untuk menyantap mangsa yang anggota tubuhnya sudah tidak utuh lagi. Lalu raja pun dilepaskan pergi.

Sesampainya di kediamannya, ia teringat kejadian satu tahun lalu yang menghancurkan jari jempolnya, dan merasa bersalah atas tindakannya kepada sahabatnya sendiri. Segera ia menuju ke penjara untuk berbicara dengan temannya. "Kamu benar" katanya. Raja menceritakan pengalaman mengerikan yang nyaris merenggut nyawanya. "Bagus lah jari jempolku itu hancur waktu itu. Aku sangat menyesal telah memenjarakanmu begitu lama. Perlakuanku kepadamu sangatlah buruk." Demikian kata sang raja, menyesali keputusannya.

"Tidak, kawan..." Temannya menjawab sambil tersenyum, "bagus lah...!"

"'Bagus lah' bagaimana maksudmu? Aku memenjarakanmu sudah satu tahun, kok bagus???" Raja heran dan sedikit gusar dengan kebiasaan temannya yang satu ini.

"Kalau aku tidak dipenjara, aku pasti ikut berburu bersamamu."


Wednesday, March 21, 2012

Wortel, Telur, dan Kopi

Seorang gadis mengadu kepada ibunya, betapa hidupnya penuh dengan kesulitan tiada henti. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana mengatasinya dan ingin menyerah saja. Setiap satu masalah berlalu, selalu ada saja masalah lain bergiliran menderanya.

Lalu ibunya mengajak gadis itu ke dapur. Ia mengisi tiga panci kecil dengan air. Di panci pertama dimasukkan wortel, di panci ke-dua dimasukkan telur, dan di panci terakhir kopi bubuk. Kemudian ia merebus ketiga-tiganya. Mereka menunggu tanpa berkata sepatah kata pun.

Dua puluh menit kemudian, ia mematikan kompor, lalu memindahkan wortel dan telur, dan menuangkan kopi, masing-masing ke dalam sebuah mangkuk. Ketiga mangkuk itu ia letakkan di hadapan putrinya.

Ibunya bertanya, "Apa yang kamu lihat?" "Wortel, telur, dan kopi," jawab putrinya. Kemudian ibunya menyuruh putrinya untuk memegang wortel. Gadis itu menyentuhnya, ia merasakan wortel itu sudah menjadi empuk. Lalu ibunya mengambil telur itu dan memecahkannya. Sambil mengupas kulit telur, ia merasakan isi telur itu sudah menjadi keras. Terakhir, ibunya menyuruh putrinya mencicipi kopi. Putrinya tersenyum, menikmati kopi yang begitu harum dan kaya rasa.

"Tetapi, maksudnya apa ma?" Gadis itu bertanya dengan bingung. Ibunya menjelaskan bahwa mereka semua baru saja menghadapi lawan yang sama -air mendidih-, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Wortel awalnya kuat dan keras. Namun, menyerah kepada air panas. Wortel melunak, dan menjadi lemah.

Telur mempunyai kulit yang keras, untuk melindungi isinya yang cair dan lembut. Namun setelah menghadapi air panas, isinya menjadi keras.

Tetapi kopi bubuk berbeda. Direbus dalam air mendidih, kopi justru mengubah air.

"Ketika kesulitan datang," ibunya bertanya, "bagaimana kamu meresponnya? Apakah kamu wortel, telur, atau kopi bubuk?"


Yang manakah kita? Wortel yang kelihatannya keras dan kuat, tetapi ketika menghadapi kesulitan, kita layu, melunak dan kehilangan kekuatan kita?

Apakah kita seperti telur, yang tadinya memliki hati yang lembut, namun karena menghadapi kehilangan, perpisahan, kesulitan keuangan, dan berbagai cobaan lainnya, hati kita mengeras dan menjadi kaku? Apakah tampak luar kita kelihatannya sama saja, tetapi sesungguhnya di dalam, hati telah berubah menjadi bebal?

Atau apakah kita seperti seperti kopi bubuk? Ketika air semakin panas, kopi mengeluarkan sarinya yang bermanfaat. Kopi menggunakan air panas, keadaan yang membawa rasa sakit, untuk mengubah dirinya sendiri dan air.






>>> Info gadget-gadget keren 
>>> Gambar animasi lucu untuk Display Pic di BBM kamu

Terdampar

Seorang korban kapal karam terdampar sendirian di sebuah pulau yang kecil tak berpenghuni. Ia terus berdoa dengan tekun supaya Tuhan menyelamatkannya, dan setiap hari juga ia memandangi lautan, menunggu tim pencari, tapi tampaknya tidak kunjung datang juga.

Bersusah payah, akhirnya ia selesai membangun gubuk kecil dari kayu-kayu yang bisa ia temukan di pulau itu. Namun kemudian, suatu hari sepulangnya dari mencari makanan, ia mendapati gubuknya terbakar. Kini semuanya habislah sudah.

Ia sudah amat lelah dan marah dengan semua ini. Ia mengeluh, "Tuhan, mengapa ini semua terjadi kepadaku?" Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ia terbangun karena suara kapal. Ya, sebuah kapal sedang menuju ke pulau itu, untuk menolongnya. "Bagaimana kalian bisa tahu aku ada di sini?" Ia bertanya kepada para awak kapal penolongnya.

"Kami melihat sinyal asap," jawab mereka.

Jikalau suatu hari gubuk kecil mu hangus terbakar, ingatlah, mungkin saja itu adalah sinyal yang memanggil kemuliaan Tuhan.

>>> Info gadget-gadget keren 
>>> Gambar animasi lucu untuk Display Pic di BBM kamu

Tuesday, March 20, 2012

Life is All About Choices

Sahabatku, John, kelihatannya tidak mengerti arti kesedihan. Sehari-harinya ia selalu ceria, tidak pernah mengeluh, dan selalu menyikapi hal apa pun dengan ringan dan santai. Ia adalah seorang manajer restoran yang unik dalam mengelola para bawahannya. Ia selalu mengajarkan mereka untuk melihat sisi baik dari setiap kesulitan yang mereka alami. Mereka menjadi sangat setia kepada John.

Suatu hari, karena aku begitu penasaran, aku bertanya kepadanya, aku tidak mengerti, bagaimana mungkin kamu bisa selalu ceria begitu setiap saat? Lalu dia menjawab, "Setiap pagi aku bangun tidur dan selalu berkata pada diri sendiri, John, kamu punya dua pilihan hari ini. Mau pilih bergembira, atau mau pilih bersusah. Aku memilih untuk bergembira. Setiap kali terjadi hal yang tidak menyenangkan, aku bisa memilih mau menjadi korban atau memilih untuk mengambil pelajaran darinya. Aku memilih untuk belajar. Setiap kali ada orang yang komplain kepadaku, aku bisa memilih untuk dongkol karena keluhan mereka, atau aku bisa mengambil sisi positifnya. Aku memilih sisi positifnya.

"Itu kan tidak gampang," aku menyela. "Gampang kok," kata John. "Kehidupan itu hanya masalah  pilihan-pilihan. Setiap situasi menawarkan pilihan. Kita memilih bagaimana kita bereaksi terhadap situasi. Kita memilih bagaimana orang lain memengaruhi mood kita. Intinya: bagaimana kita menjalani hidup, adalah pilihan kita." Aku merenungkan kata-kata John.

Tidak lama kemudian, aku memulai usahaku sendiri. Aku menjadi jarang berkomunikasi dengan John lagi, tapi aku masih sering mengingatnya setiap aku membuat berbagai keputusan dalam hidup. Lalu beberapa tahun kemudian, aku mendengar kabar tentang John. Pagi hari John membiarkan pintu belakang restoran tempatnya bekerja terbuka. Perampok masuk, dan John menjadi korban penembakan dalam peristiwa itu. Lukanya cukup fatal, namun beruntung, nyawanya  bisa diselamatkan karena ia cepat memperoleh pertolongan. Setelah operasi selama 18 jam dan berminggu-minggu dalam perawatan intensif, John diperbolehkan pulang ke rumahnya, dengan bekas luka tembakan di tubuhnya.

Kira-kira enam bulan sejak peristiwa perampokan itu, aku mengunjunginya. Aku bertanya kepadanya apa yang dipikirkannya saat kejadian perampokan itu. "Hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah seharusnya aku mengunci pintu belakang restoran." Jawab John. "Lalu ketika aku terluka dan terbaring di lantai, aku ingat bahwa aku mempunyai dua pilihan: aku bisa memilih untuk hidup, atau memilih mati. Aku memilih hidup."

"Apakah kamu takut? Apakah kamu pingsan?" Aku bertanya. John melanjutkan, ".... petugas paramedisnya hebat. Mereka terus mengatakan kepadaku kalau aku akan baik-baik saja. Tapi ketika mereka melarikanku ke UGD, dari ekspresi dokter dan perawat di sana, aku benar-benar ketakutan. Di mata mereka, aku membaca 'dia tidak akan selamat'. "Aku harus melakukan sesuatu."

"Apa yang kau lakukan?" Aku bertanya. "Yah, ada seorang perawat berbadan besar yang meneriakkan berbagai pertanyaan kepadaku," kata John. "Dia bertanya apakah aku menderita alergi tertentu. 'Ya,' jawabku. Dokter dan perawat serentak menghentikan kesibukan mereka, menunggu jawabanku. Aku menarik nafas panjang dan berteriak, 'PELURU!' Mereka semua tertawa, aku berkata kepada mereka, 'saya memilih untuk hidup. Ayo segera operasi saya layaknya saya masih hidup, bukan sudah mati." 

Kini John bisa hidup berkat keterampilan dokter-dokternya, tapi juga karena sikapnya yang luar biasa. Aku belajar banyak dari John, bahwa setiap hari kita punya pilihan untuk hidup sebaik-baiknya.

Sikap, bagaimana pun juga, adalah segala-galanya.

>>> Info gadget-gadget keren 
>>> Gambar animasi lucu untuk Display Pic di BBM kamu

Sunday, March 18, 2012

Pikiran yang Jernih

Pasangan muda yang baru menikah, menempati rumah di sebuah komplek perumahan.

Suatu pagi, sewaktu sarapan, si istri melalui jendela rumahnya, melihat tetangganya sedang menjemur kain.

"Cuciannya kelihatan kurang bersih ya," kata sang istri.
"Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian dengan benar.
Mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus."

Suaminya menoleh, tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun.

Sejak hari itu setiap tetangganya menjemur pakaian, selalu saja sang istri memberikan komentar yg sama tentang kurang bersihnya si tetangga mencuci pakaiannya.

Seminggu berlalu, sang istri heran melihat pakaian-pakaian yang dijemur tetangganya terlihat cemerlang dan bersih, dan dia berseru kepada suaminya:

"Lihat, sepertinya dia telah belajar bagaimana mencuci dengan benar. Siapa ya kira2 yang sudah mengajarinya? "

Suaminya menjawab, "aku bangun pagi-pagi sekali hari ini dan membersihkan kaca jendela kita."

Dan begitulah kehidupan.
Apa yang kita lihat pada saat menilai orang lain tergantung kepada kejernihan pikiran (jendela) lewat mana kita memandangnya..

Jika pikiran kita jernih, maka jernih pula penilaian kita.


>>> Info gadget-gadget keren 
>>> Gambar animasi lucu untuk Display Pic di BBM kamu

Saturday, March 17, 2012

Apa yang Membuatmu Bahagia

Istri John Maxwell (pembicara dan motivator top), Margaret
      
John Maxwell sang suami duduk di bangku paling depan dan mendengarkan.
Di akhir sesi, semua hadirin bertepuk tangan dan tibalah sesi tanya jawab.

"Mrs. Margaret, apakah suami Anda membuat Anda bahagia?"
Seluruh ruangan langsung terdiam. Satu pertanyaan yang bagus.
Margaret tampak berpikir beberapa saat dan kemudian menjawab,"TIDAK."
Seluruh ruangan terkejut. "Tidak,"
katanya sekali lagi, "John Maxwell tidak bisa membuatku bahagia."

Kemudian, lanjut Margaret, "John Maxwell adalah seorang suami yg sangat baik. Ia tidak pernah berjudi, mabuk-mabukan, main serong. Ia setia, selalu memenuhi kebutuhan saya, baik jasmani maupun rohani. Tapi, tetap dia tidak bisa membuatku bahagia..

Tiba-tiba ada suara bertanya,"MENGAPA?"

"KARENA," Jawabnya, "tidak ada seorang pun di dunia ini yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku selain diriku sendiri."

Margaret mengatakan, tidak ada orang lain yang bisa membuatmu bahagia.
Baik itu pasangan hidupmu, sahabatmu, uangmu, hobimu.
Semua itu tidak bisa membuatmu bahagia.
Karena yang bisa membuat dirimu bahagia adalah dirimu sendiri.

Kamu BERTANGGUNG JAWAB atas DIRIMU SENDIRI.
Kalau kamu sering merasa berkecukupan, tidak pernah punya perasaan minder, selalu percaya diri, kamu tidak akan merasa sedih.
Sesungguhnya pola pikir kita yang menentukan apakah kita bahagia atau tidak, bukan faktor luar.

BAHAGIA ATAU TIDAKNYA HIDUPMU BUKAN DITENTUKAN OLEH
seberapa kaya dirimu
seberapa cantik istrimu ata seberapa gagah suamimu
seberapa sukses hidupmu.

BAHAGIA adalah PILIHANMU SENDIRI.


>>> Info gadget-gadget keren 
>>> Gambar animasi lucu untuk Display Pic di BBM kamu

Friday, March 16, 2012

Siapa yang Kau Cintai?

John berdiri dari bangkunya, merapikan seragam militer yang dikenakannya, dan dengan seksama mengamati orang-orang yang lalu lalang di stasiun utama New York. Ia mencari seorang wanita, yang ia kenal hatinya, tapi tidak wajahnya. Seorang wanita dengan bunga mawar di pakaiannya.

Ketertarikannya kepada wanita ini dimulai sekitar satu tahun lalu, di sebuah perpustakaan di Florida. Sebuah buku yang dia baca di perpustakaan itu membuatnya penasaran. Bukan karena isinya, melainkan sebuah catatan kecil di halaman buku itu. Tulisan tangan yang lembut dan amat mengesankan, mencerminkan wawasan yang amat dalam dan pribadi yang bijaksana dari si penulisnya. Pada halaman depan buku, tertulis nama pemilik buku itu sebelumnya, seorang wanita. Dengan sedikit waktu dan usaha, akhirnya John berhasil memperoleh alamatnya. Wanita itu tinggal di New York.. John menulis surat, yang memperkenalkan dirinya, dan menjelaskan ketertarikannya untuk menjadi sahabat pena, kepada wanita misterius itu. Beberapa hari kemudian, John ditugaskan ke Eropa untuk dinas militer di Perang Dunia ke-2.
Selama sekitar satu tahun itu, hubungan mereka berkembang, saling mengenal, melalui surat. Setiap surat bagaikan benih yang bersemi di hati yang subur. Sekali John meminta fotonya, tapi ia menolak. Menurutnya jika john sungguh menyukainya, rupa bukanlah hal penting.

Ketika tiba hari kepulangan John dari Eropa, mereka berdua sepakat untuk mengatur jadwal untuk pertemuan pertama mereka, pukul 7 malam di stasiun utama New York. "Kau pasti akan mengenaliku," tulisnya. "Aku akan memasang bunga mawar di kerah mantelku."

Demikianlah John sedang berada si stasiun, mencari seorang wanita, yang hatinya ia cintai, tapi wajahnya tidak ia kenali.

Sekarang, mari kita biarkan John sendiri yang menceritakan apa yang terjadi selanjutnya:

Seorang wanita muda berjalan menghampiriku, perawakannya tinggi langsing. Rambutnya pirang terurai, matanya biru seperti bunga-bunga, bentuk bibir dan dagunya sangat indah. Dengan mantel hijaunya, ia tampak seperti datangnya musim semi, dalam wujud manusia.
Segera aku pun mulai menghampirinya, sosoknya membuatku lupa bahwa ia tidak memakai bunga mawar di mantelnya. Ia melewatiku begitu saja, dan saat itu juga aku melihat seorang wanita lain, yang berdiri tak jauh dari tempat yang sama dengan gadis bermantel hijau yang barusan berjalan melewatiku, dengan mawar tersemat di dekat kerah mantelnya.
Wanita itu mungkin sudah berusia sekitar 50an tahun, wajahnya bulat, rambutnya sudah mulai memutih. Sementara gadis bermantel hijau tadi sudah berlalu. Sepertinya diriku ingin terbelah dua, ingin sekali aku mengikuti gadis cantik tadi, tapi aku juga sudah begitu lama menunggu untuk bertemu dengan wanita ini, yang semangatnya telah sungguh-sungguh menemaniku selama ini. Mungkin yang satu ini lebih bermakna daripada sekadar jatuh cinta. Sebuah ikatan persahabatan yang luar biasa istimewa untukku.
Dan di sanalah ia berdiri. Wajahnya yang bulat sangat lembut dan ramah, dan sorot matanya begitu hangat. Tanpa ragu lagi, aku menghampirinya, aku meraih buku yang bersampul biru dari dalam saku, menegakkan badanku, dan menyodorkan buku itu kepada wanita tua di hadapanku (meskipun ketika aku mulai berbicara, aku masih merasa tersedak oleh kekecewaanku). Aku menyapanya, memperkenalkan diriku, dan melanjutkan, "Senang sekali akhirnya kita bisa bertemu. Bolehkah aku mengajakmu makan malam?"
Wajah wanita itu semakin lebar ketika ia tersenyum. "Aku tak tahu apa maksud semua ini, nak," jawabnya. "Tetapi wanita muda berbaju hijau yang barusan lewat tadi memohon kepadaku untuk memakai mawar ini di bajuku. Dan katanya kalau kamu mengajakku keluar makan malam, aku harus mengatakan kepadamu bahwa dia menunggumu di restoran di seberang jalan sana." Ia menunjuk ke arah jalanan. "Katanya ini hanya semacam ujian saja."

Tidaklah sulit untuk memahami maksud si gadis bermantel hijau. Memang, maksud hati yang sesungguhnya baru akan tampak jelas kalau mata sudah menyimpulkan sesuatu itu tidak menarik.

Houssaye, sang novelis besar menulis, "Tell me whom you love, and I will tell you who you are."


Wednesday, March 14, 2012

Our Helping Hands

Hari itu menjelang gelap. Seorang wanita separuh baya sedang kebingungan karena ban mobil yang sedang dikemudikannya kempis. "Celaka!" Pikirnya. Perjalanannya menuju kota tujuannya masih panjang, dan cuaca yang dingin membuat jalanan sangat sepi. Sepertinya orang-orang sepakat untuk berdiam di rumah saja. Ia pun memutuskan untuk menunggu di dalam mobilnya, sampai ada orang yang lewat, yang mungkin bisa ia mintai bantuan.

John mengemudikan mobilnya. Fisik dan pikirannya lelah memikirkan permasalahan hidupnya. Pabrik tempatnya bekerja baru saja ditutup, ia kehilangan pekerjaan. Sementara dia harus tetap menafkahi keluarganya. Tiba-tiba John menghentikan mobilnya, memundurkannya sedikit, lalu ia keluar dari mobilnya.

John menghampiri mobil wanita itu, dan meski dengan senyum di wajahnya, wanita itu agak was-was menanggapinya. Sudah hampir satu jam ia menunggu di mobilnya dan tak ada satu pun yang lewat. Orang ini tampak lusuh sekali, apakah berbahaya? Bagaimana kalau ia bermaksud jahat? Begitulah yang pertama terlintas di pikirannya.

Melihat ekspresi wanita di hadapannya, John merasakan apa yang ada di pikiran wanita itu. Ia berkata, "Permisi Bu, saya rasa Ibu sedang kesulitan, dan saya bermaksud membantu Ibu. Oh iya, ngomong-ngomong nama saya John. Sebaiknya Ibu tetap di dalam mobil saja karena di luar sini sangat dingin." Memang hanya masalah ban yang kempis, tapi itu adalah masalah besar bagi seorang wanita seusianya. Segera saja John mulai bekerja, dan tidak lama kemudian ban sudah selesai diganti. Tapi tangan John menjadi kotor dan sakit.

Ketika sedang mengencangkan baut terakhir, wanita itu membuka kaca jendelanya dan mulai berkata, bahwa ia amat berterimakasih atas bantuan John. Ia sedang dalam perjalanan ke kota sebelah.
Wanita itu bertanya berapa yang harus ia bayar. Bahkan ia pun sudah membayangkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi kalau ternyata orang yg menolongnya ini benar bermaksud jahat...

John tersenyum sambil menutup bagasi mobil wanita itu. Tidak sedikitpun ia berpikir tentang uang. Yang baru saja dilakukannya, baginya bukanlah sebuah pekerjaan, tetapi menolong orang lain yang sedang membutuhkan. Tuhan pun tahu selama ini sudah berapa banyak juga orang-orang yang pernah menolongnya.
John berkata menjawab, kalau ia benar-benar ingin membalas jasanya, sekali waktu kalau ia bertemu orang yang membutuhkan bantuan, bantulah. Dan John menambahkan "... dan ingatlah kepada saya."

John menunggu sampai wanita itu menjalankan mobilnya untuk melanjutkan perjalanannya. Hari itu benar-benar dingin dan melelahkan, tapi John merasa senang, dan ia pun kembali melanjutkan perjalanannya.

Beberapa kilometer kemudian, wanita itu melihat sebuah restoran kecil. Ia mampir untuk makan dulu dan menghangatkan tubuhnya. Seorang pelayan menghampirinya, dengan senyum dan amat ramah melayaninya. Bahkan membawakan handuk hangat untuknya. Wanita itu memperhatikan pelayan tadi sedang hamil tua, tapi begitu ceria dan bersemangat menyikapi pekerjaannya. Wanita tua itu heran bagaimana orang kecil seperti pelayan itu bisa memberi begitu banyak, lewat pekerjaannya, kepada orang lain yang menjadi tamunya? Lalu ia segera teringat pemuda bernama John yang tadi menolongnya.

Setelah menghabiskan makanannya, dan membayar dengan uang 100$, pelayan tadi pergi ke dalam untuk mengambil uang kembaliannya. Lalu wanita itu diam-diam pergi untuk melanjutkan perjalanannya.

Pelayan tadi bingung ketika mendapati tamunya sudah pergi tanpa mengambil uang kembaliannya, lalu ia melihat ada yang surat yang ditinggalkan tamunya tadi. Matanya mulai basah sambil ia membaca apa yang dituliskan wanita itu. Katanya, "Kamu tidak berutang apa pun Nak. Seseorang pernah membantu saya, sama seperti aku membantu Kamu. Kalau Kamu hendak membalasnya, lakukanlah ini: Jangan biarkan rantai kasih terputus."

Ia masih sibuk bekerja sampai larut malam. Malam itu ketika ia sudah di rumahnya dan beranjak ke tempat tidur, ia memikirkan uang dan surat yang diberikan oleh wanita tua tamunya tadi. Bagaimana wanita itu bisa tahu betapa ia dan suaminya membutuhkan uang itu? Apalagi bayinya akan lahir bulan depan, akan sangat sulit bagi mereka. Ia tahu suaminya amat memikirkan kondisi rumah tangga mereka. Berbaring di sisi suaminya, ia memberikan ciuman lembut dan berbisik pelan,