Usianya sudah lebih dari 70 tahun. Berjalan pun tertatih-tatih, sehingga jarang sekali ia mau keluar rumah, rumah jompo. Putrinya tidak menginginkan kehadirannya lagi di rumah. Masih teringat berapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya. Ayah dari putrinya menghilang setelah menghamilinya. Keluarganya menuntut agar ia menggugurkan kandungannya saja karena malu, tetapi ia tetap mempertahankannya. Ia pun diusir dari rumah orang tuanya.
Selain aib yang harus ia tanggung, ia juga harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Tak ada seorang pun yang mendampinginya ketika ia melahirkan putrinya. Walaupun demikian ia tetap merasa sangat bahagia karena Tuhan memberkatinya dengan seorang putri. Ia bertekad mengasihi sepenuh hati putrinya, bahkan menamai putrinya: Kasih.
Siang hari ia harus bekerja di pabrik, malamnya ia menjahit sampai larut malam demi mendapatkan penghasilan tambahan. Hari Sabtu dan Minggu pun ia gunakan untuk bekerja sambilan di sebuah restoran. Semua itu ia alakukan agar ia dapat membiayai kehidupan dan sekolah putrinya. Ia tidak mau menikah lagi, masih berharap suatu saat ayah kandung Kasih kembali ke sisinya.
Karena perjuangan dan pengorbanannya ibunya, Kasih bisa melanjutkan pendidikan di luar kota. Di sana Kasih jatuh cinta pada seorang pemuda dari keluarga kaya. Kasih tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih punya orang tua. Ia merasa malu ditinggal oleh ayah kandungnya, dan ia merasa malu dengan pekerjaan ibunya. Kepada kekasihnya, ia mengaku bahwa orang tuanya sudah meninggal dunia.
Pada saat Kasih menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh, ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidak diinginkan. Ia hanya bisa berdoa agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak itu ia tidak mendengar lagi kabar dari putrinya, karena ia dilarang untuk menghubungi putrinya.
Pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa Kasih sudah melahirkan seorang bayi lelaki. Sangat bahagia sekali hatinya dan karena ia ingin dekat dengan anak dan cucunya, ia mencoba melamar sebagai pembantu di keluarga putrinya. Ia diterima untuk bekerja di sana. Ia diijinkan menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai nenek, melainkan hanya sebagai pembantu biasa. Ia bersyukur sekali karena Tuhan telah mengabulkan keinginannya. Selama bekerja, ia diperlakukan layaknya pembantu biasa oleh kasih. Bahkan seringkali dibentak dan dimarahi oleh darah dagingnya sendiri. Ia hanya bisa menangis dan berdoa di kamarnya, memohon agar Tuhan memaafkan kesalahan putrinya, agar hukuman atas kesalahan putrinya dilimpahkan saja kepada dirinya. Belakangan ia pun jatuh sakit dan tidak mampu bekerja lagi. Menantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini, sehingga ia memasukkan nenek ini ke rumah jompo untuk menghabiskan sisa hidupnya di sana.
Bertahun-tahun ia tinggal di rumah jompo itu, tidak bisa lagi melihat putri dan cucunya. Dengan usia yang sudah tua dan kondisi tubuhnya yang sakit-sakitan, suatu hari ia merasa bahwa waktunya di dunia ini sudah hampir habis. Hanya ada satu keinginannya sebelum ia meninggal dunia, yaitu ingin bertemu dan melihat putrinya sekali lagi. Selain itu ia pun ingin memberikan seluruh uang simpanan yang telah ia kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya. Cuaca di luar bersalju dan sangat dingin. Ia harus dua kali ganti bus karena jarak dari rumah jompo ke rumah putrinya cukup jauh. Sebuah perjalanan yang tidak mudah untuk seorang nenek sakit-sakitan dalam cuaca seperti ini.
Amat kelelahan dan kedinginan, ia menekan bel di pintu rumah putrinya, dan kebetulan, putrinya sendiri yang membukakan pintu. "Nak, ibu datang untuk memberikan hadiah natal untumu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin untuk terakhir kalinya. Bolehkah ibu masuk sebentar saja karena di luar dingin sekali dan ibu sudah tidak kuat lagi nak." demikian ia memohon kepada putrinya. Dengan nada kesal Kasih menjawab, "maaf, sebentar lagi kami akan kedatangan tamu seorang pejabat tinggi. Lain kali kalau mau datang telefon dulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" Setelah itu pintu langsung ditutup. Kasih malah mengusir ibunya sendiri seperti mengusir pengemis.
Beberapa saat kemudian bel rumah berbunyi lagi, ternyata ada orang yang ingin pinjam telefon. "Maaf bu, mengganggu, tapi bolehkan kami pinjam telefonnya sebentar untuk menelefon kantor polisi, karena di halte di depan sana ada seorang nenek meninggal dunia. Sepertinya ia mati kedinginan."
Perempuan tua ini mati bukan karena kedinginan tubuhnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan hangatnya dicintai oleh putrinya sendiri, yang tak pernah bisa ia rasakan lagi. Sungguh tragis yang dialami oleh nenek ini, namun kisah hidupnya mengingatkan kepada kita semua bahwa seorang ibu bisa melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang. Seorang ibu mendoakan dan selalu ingat akan anaknya. Seorang ibu mampu menerima dengan sabar seburuk apa pun sikap anaknya kepadanya.
Mari kita renungkan sebentar saja. Kapan terakhir kali kita menelefon ibu? Mengundang ibu? Mengajak ibu-ibu pergi jalan-jalan? Kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dan ucapan terima kasih untuk ibu? Dan kapan terakhir kali kita berdoa untuk ibu?
No comments:
Post a Comment