WISH FEMI HERBS

WISH FEMI HERBS

Thursday, March 22, 2012

Jodoh

Dalam perjalanan pulang, aku menemukan sebuah dompet di jalan. Di dalamnya hanya berisi uang tiga dolar dan sebuah amplop surat yang sudah usang. Tertulis sebuah alamat di surat itu. Aku membuka amplopnya, siapa tahu ada informasi tentang pemiliknya.

Aku membaca surat itu. Tertanggal tahun 1924, ternyata surat yang sudah sangat tua. Tulisannya indah, sepertinya tulisan tangan seorang perempuan. Ditujukan kepada seseorang bernama "John", dan menceritakan bahwa si penulis surat tidak dapat menemui John lagi karena orang tuanya melarangnya. Namun demikian, tertulis di sana bahwa ia akan selalu mencintai John-nya.

Tertanda, Jane.

Surat yang indah, tapi akan sulit mencari tahu siapa pemiliknya hanya berbekal sedikit informasi seperti ini. Aku pikir mungkin bisa dimulai dengan menanyakan nomer telefon untuk alamat yang tercantum di amplopnya.

"Halo, operator," aku menelefon layanan informasi, "ini agak tidak biasa. Saya sedang mencari pemilik sebuah dompet yang saya temukan di jalan. Di dalam dompet itu saya menemukan sebuah surat dengan alamat yang tercantum pada amplopnya, apakah ada nomer telefon yang terdaftar untuk alamat itu.


Dia menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang kedengarannya sedikit ragu sesaat, lalumenjawab, "Ya, memang ada nomer telefon untuk alamat itu, tetapi kami tidak bisa memberikannya kepada Bapak." Lalu ia melanjutkan, sebagai gantinya, dia yang menghubungi nomer itu sekarang, menjelaskan sesuai ceritaku tadi, dan meminta mereka untuk menghubungiku.


Aku menunggu beberapa saat, lalu ia kembali, katanya, "Ada yang ingin berbicara dengan Bapak."

Suara di ujung sana seorang perempuan, aku segera bertanya apakah ia mengenal seseorang bernama Jane. Ia terkejut, "Oh! Kami membeli rumah ini dari sebuah keluarga yang putrinya bernama Jane. Tapi itu sudah 30 tahun yang lalu!"

"Apakah Ibu tahu keberadaan keluarga itu sekarang?" Aku bertanya.

"Aku ingat Jane sempat menitipkan ibunya di rumah jompo beberapa tahun lalu," katanya. "Kalau Bapak bisa menghubungi mereka, mungkin mereka dapat membantu Bapak mencari di mana keberadaan Jane sekarang."
Ia memberitahukan nama rumah jompo itu, dan aku segera menghubunginya. Kata mereka, wanita tua itu sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Tapi mereka punya nomer telefon tempat yang mereka pikir putri wanita itu tinggal sekarang.

Aku berterimakasih kepadanya, dan melanjutkan menelefon nomer yang barusan kucatat. Perempuan yang menjawab telefon menjelaskan bahwa Jane sendiri sekarang tinggal di rumah jompo.
Aku mulai berpikir rasanya semua ini begitu konyol. Buat apa juga dari tadi aku disibukkan oleh dompet yang hanya berisi uang tiga dolar dan surat yang sudah hampir berusia 60 tahun?


Tapi aku tetap menelefon lagi. Kali ini ke rumah jompo tempat di mana Jane seharusnya tinggal. Lalu orang yang menjawab telefon memberitahukan kepadaku, "Ya, Jane tinggal bersama kami."

Meskipun sudah pukul sepuluh malam, aku tetap minta diperbolehkan untuk mampir dan bertemu dengan perempuan bernama Jane ini. "Emmm...," dengan ragu, "kalau Bapak mau mencoba, ia tinggal di Blok 3, mungkin masih di ruang utama menonton televisi."

Aku berterimakasih kepadanya, lalu segera berangkat menuju rumah jompo itu. Petugas di sana menyambutku, lalu kami berjalan ke Blok 3. Di ruang utama, ia memperkenalkan aku kepada Jane.

Rambutnya sudah putih semua, ia seorang nenek yang manis, yang tersenyum dengan hangat dan matanya masih penuh semangat. Aku menceritakan pengalamanku menemukan dompet, dan menunjukkan surat itu kepadanya. Begitu ia melihat amplop biru muda dengan gambar bunga kecil di sisi kirinya, ia menarik nafas panjang dan berkata, "Nak, surat ini adalah terakhir kali aku berhubungan dengan John."

Pandangannya menerawang beberapa saat, lalu melanjutkan, "Aku amat mencintainya. Tetapi saat itu aku baru berumur enam belas,  dan ibuku menganggapku masih terlalu kecil. Oh, ia begitu tampan, mirip Sean Connery, sang bintang film."

"Ya," ia melanjutkan. "John Doe lelaki yang luar biasa. Kalau Kamu bertemu dengannya, tolong katakan kepadanya aku masih sering memikirkannya. "Dan," ia ragu sebentar, hampir menggigit bibirnya, "katakan kepadanya aku masih mencintainya.... Tahukah Nak," katanya sambil tersenyum dan air matanya mulai berkumpul membasahi matanya. "aku tidak pernah menikah. Menurutku tak ada satu pun yang sebanding dengan John..."

Aku berterimakasih kepada Jane dan pamit. Sambil berjalan ke luar, petugas di sana bertanya, "Bagaimana, apakah ada hasilnya?"

"Setidaknya aku mendapatkan nama belakangnya. Tapi rasanya saya akan membiarkannya dulu saja. Saya sudah menghabiskan waktu seharian untuk mencari pemilik dompet ini." Jawabku sambil mengeuarkan dompet itu dari saku.


Penjaga itu melihat sesaat dompet kulit dengan sedikit aksen merah di bagian pinggir di tanganku, kemudian ia berseru, "Hei, tunggu, itu dompet Mr. Doe! Saya tahu pasti, aksen merah itu. Ia selalu kehilangan dompetnya, saya sendiri sudah tiga kali menemukan dompet itu di sini."

"Siapa itu Mr. Doe?" Aku bertanya dengan bersemangat.

"Dia penghuni di sini, di Blok 8. Itu pasti dompet Mr. John Doe. Ia pasti menjatuhkannya lagi waktu bepergian." Aku berterimakasih kepadanya lalu segera berlari kembali ke kantor perawat. Aku menceritakan kepadanya apa yang di katakan petugas di luar tadi. Lalu kami sudah berjalan kembali menuju Blok 8, sambil berharap Mr. John Doe benar sedang berada di sana.

Sesampainya di Blok 8, perawat di sana berkata, "Kurasa ia masih berada di ruang utama. Beliau senang membaca di malam hari. Ia orang tua yang menyenangkan."

Kami berjalan menuju satu-satunya ruangan yang masih terang, ada seseorang sedang membaca buku. Perawat menghampirinya dan menanyakan apakah ia kehilangan dompetnya. Mr. Doe tampak terkejut, meraba sakunya, dan berkata, "Oh, dompet saya hilang!"


"Bapak yang baik hati ini menemukan sebuah dompet dan kami pikir mungkin dompet ini milik Bapak."


Aku menyerahkan dompet itu ke tangan Mr. Doe dan segera saja ia tersenyum lega dan berkata, "Ya, benar ini! Pasti terjatuh tadi siang. Saya ingin memberikan sedikit tanda terima kasih."


"Tidak perlu Pak..., terima kasih..." jawabku sopan. "Tetapi saya harus memberitahu sesuatu. Saya membaca surat di dalamnya untuk mencari petunjuk siapa pemilik dompet itu.


Senyum di wajahnya mendadak hilang. "Kau membaca surat itu?"

"Bukan itu saja, bahkan mungkin saya tahu di mana Jane berada."
Wajahnya segera pucat. "Jane? Kau tahu di mana dia? Bagaimana keadaannya? Apakah ia tetap cantik seperti dulu? Tolong, tolong beritahu saya," ia memohon.

Ia baik-baik saja... tetap cantik sebagaimana Bapak mengenalnya dulu." Aku menjawab dengan lembut.

Orang tua itu tersenyum dan segera bertanya, "Bisakah Kau beritahu di mana dia? Saya ingin menelefonnya besok." Ia mencengkeram lenganku dan melanjutkan, "Tahukah Nak, saya begitu jatuh cinta kepadanya, sampai waktu saya menerima surat itu, hidup ini bisa dikatakan sudah berakhir. Saya tidak pernah menikah, dan saya rasa saya selalu hanya mencintainya.

"Mr. Doe," kataku, "ayo ikut saya."

Kami berjalan menuju Blok 3. Ruangan-ruangan di sana sudah gelap, hanya beberapa lampu kecil yang menerangi koridor menuju ruang utama tempat Jane tadi menonton televisi sendirian.

Perawat mendekatinya. "Jane," katanya dengan lembut, sambil menunjuk ke arah John, yang sedang menunggu denganku di dekat pintu ruangan. "Kau kenal orang ini?"

Ia mengatur posisi kacamatanya sebentar, melihat sesaat, tapi tidak berkata apa pun. John berkata dengan lembut, hampir berbisik, "Jane, ini John. Kau ingat aku?"

"Ia terperanjat, "John! Yang benar, John? Kau kah itu, John ku!" John berjalan perlahan ke arahnya, dan mereka berpelukan. Aku dan si perawat meninggalkan mereka berdua, dengan air mata di wajah kami.

Kira-kira tiga minggu kemudian aku mendapat telefon di kantorku dari rumah jompo. "Bisakah Kau meluangkan waktu di hari minggu untuk menghadiri acara pernikahan? John dan Jane akan menikah!"

Acara pernikahan itu sangat indah, dengan semua orang yang berada di rumah jompo berpakaian pesta. Jane cantik dengan gaun pengantinnya, John gagah dengan tuxedo-nya. Mereka menjadikan aku sebagai pendamping pengantin pria.

Rumah jompo itu memberikan kamar tersendiri bagi mereka berdua. Kalau kamu ingin menyaksikan seorang pengantin wanita berusia 76 tahun bersama pengantin prianya yang berusia 79 tahun, bertingkah layaknya sepasang remaja kasmaran, maka lihatlah pasangan yang satu ini.

"Lihat kan," kataku. "Lihat kan Tuhan Yang Maha Kasih bekerja! Kalau memang berjodoh, maka pastilah terjadi."


>>> Langganan cerita-cerita di "Moral Compass"
>>> Cerita-cerita bagus lainnya

No comments:

Post a Comment